Cari Askep Disini

Sabtu, 22 Januari 2011

ASUHAN KEPERAWATAN CA NASOFARING

1. DEFINISI
Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar kien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut. Didapatkan lebih banyak pada pria dari pada wanita, dengan perbandingan  3  : 1 pada usia / umur rata-rata 30 –50 th.

2. ANATOMI NASOFARING
NASOFARING \ disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan belakang 2-3 sentimeter. Batas-batasnya :                                                        
1.     Dinding depan : Koane                                                                                     
2.     Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggi Vertebra Sevikalis I dan II.
3.     Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.
4.     Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.
5.     Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.
Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan local isasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu. Dengan radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi dan atropi dari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.

3. ETIOLOGI
Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang mendiator yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Karsinoma Nasofaring. Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1.     Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland . juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2.     Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
3.     Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan.
4.     Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini.Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang agak banyak kena.
5.     Radang Kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
5. HISTOLOGI NASOFARING
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering disebut ” Limfoepitel ”.
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1.     Epitek selapis torak bersilia ” Simple Columnar Cilated Epithelium ”
2.     Epitel torak berlapis “ Stratified Columnar Epithelium “.
3.     Epitel torak berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium“
4.     Epitel torak berlapis semu bersilia “ Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ”
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng “ Stratified Squamous Epithelium “, dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh
epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

6. KLASIFIKASI
WHO 1978
1.     Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi
2.     Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
3.     Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi
Working formulation
1. Karsinoma Tipe A : anaplasia / Pleomorfy nyata-derajat keganasan menegah.
2. Karsinoma Tipe B : anaplasia / pleomorfy ringan-derajat keganasan ringan.
Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Klasifikasi Working Formulation digunakan untuk membandingkan respon radiasi pada karsinoma nasofaring dengan metastasis ke kelenjar leher, respons radiasi paling baik pada karsinoma nasofaring tipe B, kurang begitu baik pada tipe A dan paling kurang baik pada karsinoma sel skuamosa berkeratin.

7. MANIFESTASI KLINIS

a. Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.

-  Gejala telinga :
1.     Kataralis/sumbatan tuba eutachius Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2.     Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.

-  Gejala Hidung :
1.     Mimisan Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.
2.     Sumbatan hidung Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
3.     Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.

b. Gejala Lanjut
1.     Pembesaran kelenjar limfe leher. Tidak semua benjolan leher menandakan pemyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sek tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
2.     Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan ialah penglihatan dobel (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, nahu, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
3.     Gejala akibat metastasis. Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

8. STADIUM
Stadium T = Tumor Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1992).
T   = Tumor primer
T0  - Tidak tampak tumor.
T1  - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2  - Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring .
T3  - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).
T4  - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N  =  Nodule
N   -  Pembesaran kelenjar getah bening regional .
N0 -  Tidak ada pembesaran.
N1 -  Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan masih dapat di gerakkan .
N2 -  Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat di gerakkan .
N3 - Terdapat pembesaran , baik homolateral ,kontralateral ,maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar .
M  =  Metastasis
M  =  Metastesis jauh
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 - Terdapat Metastesis jauh .
Stadium I :
T1 dan N0 dan N0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0  atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.     Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero- postofor lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fosa serebia media.
2.     Pemeriksaan tomografi, CT Scaning nasofaring. Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat
asimetri dari saresus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.
3.     Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
4.     Psemeriksaan serologi, beruoa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epsten-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
5.     pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaring belum jelas dengan pembesaran kelenar leher yang diduga akibat metatasisi karsinoma nasifaring. pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metatasis.

10. DIAGNOSIS
Persoalan diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-scan daerah kepada dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan Biopsi nasofaring. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melaui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy ). Cunam biopsi dimasukkan melalui ronga hidung menyulusuri konka media de nasofaring kemudian cunam di arahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut diterik keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter yang di hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian denan kaca laring di lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumoir melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

11. PENGOBATAN
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang Bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar.
Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang seius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dri lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan.
Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medullaspinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”.

A.   Akibat- Akibat Radiasi Pada Pendengaran
Telah disebutkan terdahulu, bahwa tumor ganas nasofaring dapat menyebabkan penurunan pendengaran tipe konduksi yang refersibel. Hal ini terjadi akibat pendesakan tumor primer terhadap tuba Eustachius dan gangguan terhadap pergerakan otot levator pelatini yang berfungsi untuk membuka tuba. Kedua hal diatas akan menyebabkan terganggunya fungsi tuba.
Infiltrasi tumor melalui liang tuba Eustachius dan masuk kerongga telinga tengah jarang sekali terjadi . Dengan radiasi, tumor akan mengecil atau menghilang dan gangguan-gangguan diatas dapat pula berkurang atau menghilang, sehingga pendengaran akan membaik kembali.
Terlepas dari hal-hal diatas, radiasi sendiri dapat juga menurunkan pendengaran, baik bertipe konduksi maupun persepsi.

Radiasi dapat menyebabkan penurunan pendengaran tipe konduksi, karena :
1.      Terjadi dilatasi pembuluh darah mukosa disertai edema pada tuba Eustachius yang mengakibatkan penutupan tuba.
2.      Terjadi nekrosis tulang-tulang pendengaran (“radionecrosis”).

       Perubahan konduksi setelah radiasi ini disebabkan 3 hal :
1.     menempelnya sekret kental pada dinding lateral nasofaring.
2.     Atresia dari muara tuba.
3.     Fibrosis pada ruang fasia sekitar otot levator palatini.

Radiasi dengan “ cobalt-60 “ pada penderita tumor ganas nasofaring, dosis yang digunakan sebesar 4.000-6.000 rad.didapatnya bahwa perubahan ambang pendengaran tidak begitu besar. Peningkatan pendengaran rata-rata 10 desibel dan penurunan pendengaran rata 14 desibel. Penurunan pendengaran yang bersifat konduksi yasng disebabkan terjadinya “ radiation otitis media “ dan “ radionecrosis ” “ Radiation otitis media “ ini terjadi karena ada gangguan dari fungsi tuba yang akan menimbulkan efusi cairan pada rongga telinga tengah. Sedangkan “ Radionecrosis ossiclesa “ disebabkan terjadinya perubahan veskuler berupa degenerasi dan pembengkakan jaringan kolagen dan otot polos dinding pembuluh darah kecil yang berakibat dinding pembuluh darah tersebut menyempit atau menutup lumen sehingga terbentuk trombus yang akan mengganggu suplai darah melalui “ end arteri “ ke tulang-tulang pendengaran.
Bila pada penderita dengan tuli persepsi dan ketulian ini bertambah berat, ini disebabkan adanya penambahan komponen-komponen konduksi akibat dari terjadinya problem ditelinga tengah karena radiasi. Pada umumnya gangguan persepsi baru terjadi bila dosis radiasi yang tingi dan dalam waktu yang lama. Hal ini akibat terjadinya perubahan-perubahan pada koklea. Sedangkan pada dosis yang rendah dikatakan bahwa koklea relatif radioresisten.

12. PROGNOSIS

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
a.      Stadium yang lebih lanjut.
b.     Usia lebih dari 40 tahun
c.      Laki-laki dari pada perempuan
d.     Ras Cina dari pada ras kulit putih
e.      Adanya pembesaran kelenjar leher
f.      Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
g.     Adanya metastasis jauh
RadioterapiSyarat-sarat bagi penderita yang akan di radio terapi :
a.      Keadaan umum baik
b.     Hb> 10 g%
c.      Leukosit > 3000/mm3 
d.     Trombosit > 90.000 mm3
Indikasi Radioterapi
a.       Radikal : Tumor satadium permulaan yang belum infiltrasi ke jaringan sekitarnya dan belum terdapat penyebaran
b.      Paliatif : Tumor stadium lanjut : Mengurangi rasa nyeri dan keluhan
c.      Post Operatif :
d.     Pada tumor brd/lymphatic field of drainage
e.      Untuk menghancurkan sel-sel ganas
Tujuan pre operatif terapi
a.      Mencegah metastasis ke perifer
b.     Mengecilkan volume tumor sehingga menjadi operable
c.      Perdarahan berkurang karena vaskularisasi tumor berkurang
Tujuan post operasi
a.      Mengatasi sisa sel Ca

Efek radiasi terhadap beberapa jaringan
1. Kulit
a.      Dermatitis akut : Terkelupasnya selaput lendir fibrinous, kulit hitam merah dan edema. Epilasi permanen dengan dekstruksi epidermis, ulserasi, nyeri.
b.     Dermatitis Kronis : Kulit kering, hipertrofi/keratosis, veruka vulgaris. Ca Kulit.
c.      Late Dermatitis Accute effect : pigmintasi , atrofi, talengiektasi, ulserasi dan epitelioma.
2. Sistem Hemopoetik dan darah
a.      Efek langsung pada sel darah / pada jaringan hemopoitik
b.     Urutan sensitifikasi : Limfosit ? granulosit ? trombosit ? eritrosit
3. Alat pencernaan
a.      Reaksi eritematus pada selaput lendir yang nyeri
b.     Disfagia
c.      Reaksi fibrinous pada selaput lendir dengan nyeri yang lebih hebat
d.     Nausea, muntah, diare, ulserasi dan perforasi (Dosis di tingkatkan)
4. Alat Kelamin
a.      SterilitasM
b.     Kelainan kelamin
c.      Mutasi gen
5. Mata
a.      Konjungtivitis dan keratitis
b.     Katarak
6. Paru – paru
a.      Batuk dan nyeri dada
b.     Sesak nafas, fibrosis paru
6.     Tulang
c.      Gangguan pembentukan tulang
d.     Osteoporosis
e.      Patah Tulang (dosis ditambah)
8. Syaraf
a.      Urat saraf menjadi kurang sensitive terhadap stimulus
b.     Mielitis
c.      Degenerasi jaringan otak

9. Penyakit radiasi
a.      Demam
b.     Rasa lemah
c.      Muntah dan diare
d.     Nausea
e.      Nyeri kepala
f.      Gatal
g.     Nafsu makan menurun

Macam-macam alat radiasi
1. External radiasi
a.      UKG Untuk pemanasan pada sinusitis, salpingitis
b.     Dermatofan Hemangioma, basalioma
c.      Stabilipan Tumor yang lebih dalam (Squamosa cell Ca)
d.     Clinac (Computer Linear Accelerator) yang dipakai adalah unsur elektronya. Untuk tumor-tumor yang superficial (rhabdomiosarkoma)
2.     Internal radiasi
e.      Afterloadaing (HDR/High Dose rate) Menggunakan unsur Cesium 137. Dipakai untuk Ca Serviks, Ca bronkus, Ca Nasofaring
f.      Clinac, dipakai unsur fotonya untuk tumor-tumor yang lebih dalam.

Perbedaan radioterapi
1. Clinac 18 Cobalt 60 Radioaktif
a.      Dihasilkan dengan linear accelerator dari mesin dengan tenaga listrik
b.     Sinar yang digunakan sinar X
c.      Energi yang dihasilkan 4-10 MsV
d.     Tidak terdapat waktu paruh
e.      Surface Source Distance : 100 cm
f.      Dosis maksimum 100% pada kedalaman 2,5 cm
g.     Dari segi elektroniknya lebih rumit dan mahal • Sumbernya radio aktif
h.     Sinar ?
i.       1,23 volt
j.       Energi akan bertambah lemah sesuai waktu paruhnya
k.     SSD 80cm
l.       Daya tembus ½ cm dibawah permukaan
m.   Tidak terlalu rumit dibanding Clinac • Dibuat dalam reaktor nuklir
n.     Dengan membordair unsurnya sehingga menjadi radioaktif
o.     Untuk terapi superficial

2. Sinar – sinar yang dipakai untuk radio terapi
p.     Sinar X dan sinar ?
q.     Sinar ? (Elektron)
r.      Sinar ? (terbatas)
s.      Sinar Neutron (untuk pengobatan tumor otak)
t.       Sinar proton (untuk menghancurkan kelenjar hipofisa)

3. Teknik Penyinaran
u.     Singel field (satu arah) : AP, PA, Lateral, Medial Oblique
v.     Plan pararel/pararel opposing field (dua arah) : Mis Ca Nasofaring
w.    Multified
x.     Tiga arah : Kepala muka tengah, naso faring, sinus paranasal.
y.     Empat arah : Cerviks
z.      Lima arah : Ca Buli-buli
aa.   Rotasi
bb.  Full rotasi 360 derajat : Tumor hipofisa (Sella tursica)
cc.   Semi rotasi

4. Terapi medicamentosa
Sitostatika :
endoxan : 200 mg 2-3 x /mgg IV s/d 10 x, Dosis tinggi 1 gram/m2 luar tubuh 1 bulan/x

13. PROSES KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1.  Aktivitas/istirahat
    Gejala :
    Kelemahan dan / atau kelelahan.
    Perubahan pada pola istirahat / jam tidur karena keringat berlegih, nyeri atau ansietas.

2.  Integritas Ego :
     Gejala :
     Faktor stress (perubahan peran atau keuangan).
     Cara mengatasi stress (keyakinan/religius).
     Perubahan penampilan.

3.  Makanan/cairan
     Gejala : Kebiasaan diet buruk (Bahan Pengawet)

4.  Neurosensori
     Gejala : Pusing atau sinkope

5.  Pernafasan
     Gejala : Pemajanan bahan aditif

6.  Interaksi sosial
     Gejala : Kelemahan sistem pendukung

7.  Pembelajaran
     Gejala : Riwayat kanker pada keluarga
a.  Prioritas Keperawatan
     1.  Dukungan adaptasi dan kemandirian
      2.  Meningkatkan kenyamanan.
      3.  Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
      4.  Mencegah komplikasi.
      5.  Memberi informasi tentang proses/kondisi penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
b.  Tujuan Pemulangan
1.  Klien menerima situasi dengan realistis.
2.  Nyeri berkurang/terkontrol.
3.  Homeostasis dicapai.
4.  Komplikasi dicegah/dikurangi
5.  Proses/kondisi penyakit, prognosis, pilihan terapeutik dan aturan dipahami.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keparawatan yang Mungkin Muncul
1.   Nyeri berhubungan dengan proses penyakit : inflamasi
2.   Resiko tinggi diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI dari kemoterapi
3.   Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
4.    Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi (   eritrosit, leukosit, trombosit)
5.   Gangguan integritas kulit   berhubungan dengan efek kemoterapi
6.   Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan efek kemoterapi
7.   Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan kehilangan ranbut efek kemoterapi
8.  Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan pertumbuhan sel kanker pada nasofaring
C. PERENCANAAN
1.     Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
      Tujuan             :   Rasa nyeri pasien akan teratasi.
Kriteria Hasil :   Pasien melaporkan kehilangan nyeri maksimal
                             Pasien tenang dan wajah segar


Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.     Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
2.     Tentukan riwayat nyeri pada pasien
3.     Bantu pasien menggunakan keterampilan menejemen nyeri; tehnik relaksasi,
4.     Berikan kenyamanan dasar dengan mereposisikan pasien dengan baik
5.     Evaluasi nyeri atau control. Dan nilai aturan pengobatan
Tindakan Kolaborasi :
1.     Kembangkan rencana menejemen nyeri dengan pasien dan dokter
2.     Berikan obat analgesik sesuai dengan indikasi : morfin, metadon.

2.     Resiko tinggi diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI efek dari kemoterapi
Tujuan              :   Diare pasien dapat tertangani
 Kriteria Hasil :   Mempertahankan konsistensi atau pola defekasi umum
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.     Pasrikan kebiasaan eliminasi umum
2.     Kaji bising usus dan catat gerakan usus termasuk frekuensi, konsistensi
3.     Catat masukan dan haluaran serta berat badan
4.     Berikan masukan cairan yang adekuat (2000 ml/24 jam)
5.     Berikan makan sedikit dan  sering dengan makanan rendah sisa
6.     Periksa terhadap infeksi bila pasien tidak defekasi dalam 3 hari atau ada distensi abdomen
Tindakan Kolaborasi :
1.     Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi misalnya elektrolit
2.     Berikan cairan intravena NaCl

3.     Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
Tujuan              :   Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
             Kriteria Hasil :   Penambahan berat badan progresif kearah tujuan dengan normalisasi nilai laboratorium dan bebas tanda malnutrisi
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.     Pantau masukan makanan setiap hari
2.     Ukur tinggi dan berat badan serta ketebalan lipatan kulit trisep sesuai indikasi
3.     Dukung pasien untuk makan makanan yang mengandung tinggi kalori kaya nutrient
4.     Berikan cairan yang adekuat dan makan sedikit tapi sering setiap hari
5.     Nilai diet sebelumnya dan segera setelah pengobatan dan berikan cairan 1 jam sebelum dan sesudah makan
6.     Kontrol faktor lingkungan ( bau kuat tidak sedap dan kebisingan )
7.     Ciptakan suasana makan malam yang menyenangkan
8.     Ajarkan pasien teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi, latihan sedang sebelum makan
9.     Identifikasi pasien bila mengalami mual dan muntah yang diantisipasi
10.  Anjurkan komunikasi terbuka mengenai masalah anoreksia(tidak ada nafsu makan)
Tindakan Kolaborasi : 
1.     Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, misalnya jumlah limfosit total, transferin serum, dan albumin
2.     Berikan obat-obatan sesuai indikasi; Fenotiazin misalnya (Compazine). Tietilperazin (torecan). Antidopanergik ,misalnya; metoclopramid (raglan). Kortikosteroid. Misalnya deksametason (decadron)
3.     Pemberian vitamin, khususnya A, D, E dan B6
4.     Antasid
5.     Rujuk pada ahli diet atau pendukung nutrisi

4.     Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupressi (   eritrosit,leukosit, trombosit)
Tujuan              :  Untuk meminimalisir terjadinya infeksi pada kondisi penyakit pasien
            Kriteria Hasil  :  Pasien dapat berpartisipasi dalam intervensi untuk mencegah dan mengurangi resiko infeksi
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.     Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik dengan staf dan pengunjung
2.     Batasi pengunjung yang mengalami infeksi
3.     Tekankan higine personal
4.     Pantau selalu suhu tubuh pasien
5.     Kaji semua sistem (misalnya kulit, pernapasan, genitourinaria) terhadap tanda dan gejala infeksi secara kontinu
6.     Ubah posisi pasien dengan sering : pertahankan linen kering dan bebas kerut
7.     Tingkatkan istirahat adekuat
8.     Tekankan pentingnya higine oral yang baik
9.     Hindari atau batasi prosedur invasif dan taati teknik aseptic
Tindakan Kolaborasi :
1.     Pantau jumlah granulosit dan trombosit sesuai indikasi
2.     Dapatkan kultur sesuai indikasi
3.     Berikan antibiotic sesuai indikasi

5.     Gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek kemoterapi
Tujuan            :  Meminimalkan terjadinya komplikasi
Kriteria Hasil :  Mengidentifikasi intervensi yang tepat untuk kondisi khusus
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.     Kaji kulit dengan sering terhadap efek samping terapi kanker, pastikan kerusakan atau pelambatan penyembuhan luka dan tekankan pentingnya melaporkan area terbuka pada pemberi perawatan
2.     Mandikan dengan air hangat dan sabunringan
3.     Berikan motivasi pada pasien untuk menghindari menggaruk
4.     Bantu pasien dalam mengatur posisi tidur dengan sering
5.     Anjurkan pada pasien untuk menghindari pemakaian krim apapun kecuali sesuai dengan older dokter
6.     Tinjau protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapatkan terapi radiasi
7.     Tinjau ulang protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapatkan kemoterapi
8.     Lihat ulang efek samping dermatologis yang dicurigai pada kemoterapi misalnya ruam, hiperpigmentasi,
9.     Informasikan pada pasien bahwa kerontokan rambut akan tumbuh kembali setelah kemoterapi
Tindakan Kolaborasi :
1.     Berikan obat antidot yang tepat bila terjadi eksaserbasi; misalnya DMSO topical
2.     Hialuronidase (Wydase)
3.     NaHCO3
4.     Tiosulfat



6.     Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan efek
kemoterapi
Tujuan               :  Mempertahankan integritas mukosa mulut
Kriteria Hasil : Menunjukkan membran mukosa utuh, yang berwarna merah muda, lembab dan bebas infruksikan lamasi atau ulserasi
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
5.     Kaji kesehatan gigi dan higine oral pada penerimaan dan secara periodik
6.     Kaji rongga mulut setiap hari, perhatikan perubahan pada integritas membran mukosa oral (misalnya, kering, kemerahan).  
7.     Diskusikan dengan pasien tentang area yang memerlukan perbaikan dan demonstrasikan metode untuk perawatan oral yang baik
8.     Intruksikan mengenai perubahan diet misalnya hindari makanan yang panas, atau pedas
9.     Pantau dan jelaskan tanda-tanda pasien tentang superinfeksi oral (missal. Sariawan)
Tindakan Kolaborasi :
1.     Rujuk pada dokter gigi sebelum dilakukan kemoterapi atau radiase kepala dan leher
2.     Kultur oral yang dicurigai
3.     Berikan obat-obatan sesuai dengan indikasi misalnya : pancuci analgesik, jeli lidokain topical (Xylicaine). Preparat pencuci mulut antimikrobial misalnya nistatin (Mycostatin).    

7.     Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan kehilangan ranbut efek kemoterapi
Tujuan          :  Meningkatkan mekanisme koping dalam menghadapi masalah secara efektif
Kriteria Hasil      :  Pasien dapat memahami dan menerima diri dalam situasi

Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.     Diskusikan dengan pasien atau orang terdekat bagaimana diagnosis dan pengobatan yang mempengaruhi kehidupan pribadi pasien atau rumah dan aktivitas kerja
2.     Tinjau ulang efek samping yang diantisipasi berkenaan denngan pengobatan tertentu
3.     Mendiskusikan masalah tentang efek kanker atau pengobatan pada peran sebagai ibu rumah tangga, orang tua, dan sebagainya
4.     Berikan dukungan emosi untuk pasien atau orang terdekat selama tes diagnostik dan fase pengobatan
5.     Gunakan sentuhan selama interaksi, bila dapat diterima pada pasien dan mempertahankan kontak mata.
Tindakan Kolaborasi :
1.     Rujuk pasien atau orang terdekat pada program kelompok pendukung bila ada
2.     Rujuk pada konseling profesional bila diindikasikan

8.     Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan pertumbuhan sel kanker pada nasofaring
Tujuan            :  Mampu mendemonstrasikan respon yang meningkat sesuai stimulasi
Kriteria Hasil :  Mengontrol perubahan terhadap kemampuan persepsi sensori
Rencana Tindakan Keperawatan Mandiri :
1.       Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi individu yang termasuk di dalamnya penurunan pendengaran.
2.       Berikan motivasi agar pasien menggunakan alat bantu untuk pendengaran sesuai keperluan
3.       Pertahankan hubungan orientasi realita dan lingkungan
4.       Berikan sentuhan dalam cara perhatian
5.       Gunakan permainan sensori untuk menstimulasi realita
Tindakan Kolaborasi :
1.     Konsultasi pada dokter dalam permberian terapi obat sesuai indikasi


D. EVALUASI
1.     Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan.
2.     Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.
3.     Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.




DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. EGC. Jakarta.
Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2 nd Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/UPF Ilmu
Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta
Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorokan. Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Rasad U, Dalam : Nasopharyngeal Carcinoma. Medical Progress. July Vol 23 no 7 1996 ; 11-16
Soepardi EA, Iskandar N. Dalam : Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 2000 : 146-150
Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT : Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1989.
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Dalam : Bahaya Radiasi dan Pencegahan. Radiologi Diagnostik, FKUI, 1985 : 25-28.
Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar